Jumat, 10 Juli 2009

Analisis Data Dari Media Automatic Weather Station (AWS) Sebagai Instrumen untuk mendukung Kegiatan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), BPPT

BAB I
PENDAHULUAN
1. Judul
Judul yang diambil penulis dalam rangka pelaksanaan kuliah kerja lapangan ini adalah “Analisis Data Dari Media Automatic Weather Station (AWS) Sebagai Instrumen untuk mendukung Kegiatan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), Badan pengkajian dan penerapan Teknologi”.

2. Latar Belakang
Kuliah Kerja Lapangan Ini dilaksanakan di uit pelaksanaan teknis (UPT) Hujan Buatan BPPT sehingga diharapkan akan diperoleh banyak pengalaman yang berkaitan dengan ilmu yang dipelajari yaitu bidang fisika.

3. Tujuan Kuliah Lapangan
Tujuan umum adalah untuk memenuhi mata kuliah wajib di program study pendidikan fisika jurusan pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Membandingkan teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan keadaan yang sebenarnya dilapagan, mengetahui berbagai macam penerapan teori yang diperoleh selama kuliah, menambah pengalaman dan wawasan penyusun dalam mengenal keadaan di tempat kerja yang sebenarnya sehingga tidak hanya mengerti dalam bidang teori saja tetapi juga memahami dan terampil dalam melaksanakan teori-teori yag diperoleh.
Tujuan khusus adalah untuk memetakan faktor penentu dari variabilitas dari sebuah alat automatic weather station dan kegiatan teknologi modifikasi cuaca.

4. Batasan Masalah
Dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini penulis membatasi permasalahan yang sesuai dengan judul sebagai suatu analisis dari media untuk mencatat curah hujan yang biasa disebut dengan automatic weather station (AWS) sebagai pendukung terlaksananya kegiatan teknologi modifikasi cuaca.



5. Sejarah Singkat Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah lembaga pemerintah non-departemen yang berada dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi. Proses pembentukan BPPT bermula dari gagasan Mantan Presiden Soeharto kepada Prof Dr. Ing. B.J. Habibie pada tanggal 28-Januari-1974. Dengan surat keputusan no. 76/M/1974 tanggal 5-Januari-1974, Prof Dr. Ing. B.J. Habibie diangkat sebagai penasehat pemerintah dibidang advance teknologi dan teknologi penerbangan yang bertanggung jawab langsung pada presiden dengan membentuk Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina.
Melalui surat keputusan Dewan Komisaris Pemerintah Pertamina No.04/Kpts/DR/DU/1975 tanggal 1 April 1976, ATTP diubah menjadi Divisi Advance Teknologi Pertamina. Kemudian diubah menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.25 tanggal 21 Agustus 1978. Diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden No.47 tahun 1991.
Berikut kepala-kepala BPPT dari awal berdiri sampai sekarang:
Periode
1. Prof. Dr.Ing. B.J. Habibie • 1974-1998
2. Prof. Dr. Rahardi Ramelan • 1998-1998
3. Prof. Dr. Zuhal MSEE • 1998-1999
4. Dr. A.S. Hikam • 1999-2001
5. Ir. M. Hatta Rajasa • 2001-2004
6. Dr. Kusmayanto Kadiman • 2004-2006
7. Prof. Ir. Said Djauharsyah Jenie, Sc.D • 2006-2008
8. Dr. Ir. Marzan A. Iskandar • 2008-Sekarang
TUGAS POKOK
Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
FUNGSI
• Pengkajian & penyusunan kebijakan nasional di bidang pengkajian dan penerapan teknologi
• Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPPT.
• Pemantauan, pembinaan dan pelayanan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan swasta dibidang pengkajian dan penerapan teknologi dalam rangka inovasi, difusi, dan pengembangan kapasitas, serta membina alih teknologi.
• Penyelenggaraan pembinaan & pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi & tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan & rumah tangga.
WEWENANG
• Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
• Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro.
• Penetapan sistem informasi di bidangnya.
Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Perumusan & pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengkajian & penerapan teknologi.
b. Pemberian rekomendasi penerapan teknologi & melaksanakan audit teknologi.












Oraganisasi









6. Sejarah Singkat UPT-Hujan Buatan
UPT Hujan Buatan didirikan pada tahun 1985, yang berfungsi untuk meningkatkan intensitas curah hujan, pengisian waduk irigasi teknis dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), mengantisipasi bencana penyimpangan iklim (kekeringan dan banjir).
Dalam Perjalanan waktu, hasil pengembangan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) telah mampu meningkatkan pelayanan kepada pemerintah dan masyarakat secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan permintaan TMC dari waktu ke waktu. TMC bukanlah merupakan kegiatan membuat hujan melainkan merupakan kegiatan untuk mempercepat dan memperbanyak curah hujan.
Sejak dilakukan uji coba pertama kali Tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto waktu itu, yang difasilitasi oleh Prof. Dr. Ing.-BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio BPPT, hingga saat ini telah lebih dari 58 kali dilakukan pelayanan TMC untuk pengisian waduk, mengatasi kekeringan, menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
Program Utama UPT-Hujan Buatan
• Capacity Building
• Menciptakan Suasana Kerja yang Nyaman
• Memberikan Pelayanan prima
Visi
• Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Suatu Solusi Teknis Dalam Penanggulangan Bencana Penyimpangan Iklim.

Misi
• Memberikan layanan jasa Teknologi Modifikasi Cuaca
• Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka peningkatan profesionalisme;
• Mengkaji dan mengembangkan teknologi baru baik peralatan dan strategi pelaksanaan serta melakukan promosi (sosialisasi) manfaat teknologi modifikasi cuaca dalam rangka peningkatan melayanan jasa Teknologi Modifikasi Cuaca ;
• Memberikan layanan informasi, proses administrasi yang cepat dan akuratdalam rangka pelayanan dan pengembangan teknologi modifikasi cuaca.
Tugas dan Fungsi
Tugas
• Tugas pokok Uni Pelaksana Teknis Hujan Buatan adala melaksanakan pengkajian dan penerapan teknologi modifikasi cuaca dalam pembuatan hujan, serta memberikan pelayanan kepada instansi pemerintah dan swasta yang memelukan air hujan.
Fungsi
Untuk menjalankan tugas pokok tersebut UPT Hujan Buatan mempunyai fungsi :
• Menyusun program pengkajian dan penerapan teknologi modifikasi cuaca dalam pembuatan hujan;
• Melaksanakan pengkajian dan penerapan teknologi baru dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasil guna pembuatan hujan;
• Memberikan pelayanan kepada instansi pemerintah dan swasta yang memerlukan tambahan atau pengurangan intensitas hujan;
• Melakukan tata usaha.
Sasaran dan Strategi
• Terwujudnya peningkatan kemampuan dan pofesionalisme SDM.
• Terwujudnya peningkatan dan kemampuan pelayanan TMC dalam mengatasi bencana alam akibat penyimpangan iklim dan cuaca.
• Terwujudnya jaringan kerja (network) yang baik antara UPT Hujan buatan dengan instansi terkait baik pusat dan daerah, pemerintah dan swasta dalam rangka pemanfaatan TMC.
Struktur organisasi


Ka. UPT : Ir. Syamsul Bahri, MSc
1. Bidang Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pembuatan Hujan:
- Kepala Bidang: Dr. Ir. Mahally K, MSc
- Prof. Untung Haryanto, MSiDr. Edvin Aldrian BEng., MSc
- Drs. Supri Yono MT
- Ir. Pitoyo S. Sarwono MSc
- Drs. R. Djoko Gunawan
- Dra. Mimin Karmini MSc
- Dwipa W. Soehoed MSc
- Ir. Erwin Mulyana MSc
- Dr. Findy Renggono BEng
- M. Djazim Syaifullah SSi, MSi
- Tri Handoko Seto SSi, MSc
- Drs. F. Heru Widodo MSi
- Drs. Sunu Tikno MSi
- Drs. Sutrisno MSc
- Ir. Asril MSi
- Jon Arifian SSi
- Budi Harsoyo SSi
- Budi Darmawan S, ST, MTI
- Ridwan S.Kom
- Dini Harsanti, SSi, MSi
2. Bidang Perencanaan dan Penunjang Pelaksanaan
- Kepala Bidang: Drs. M. Husni MT
- Ir. Ham Hilala MT
- Rahmat Wardi
- drs. Rino Bahtiar Yahya MT
- drs. Satyo Nugroho MSi
- dra. Sri Lestari
3. Bagian Administrasi
- Kepala Bidang: M. Muchlis SE
- Komar Suryatama SSos
- M. Yusef Tiansyah SE
- Sudianto MSc
- Sunardi SE
- drs. Chanda M. Mangan, MS
- Imat Ruhimat SIP
- Heri Permono
- Agung Sundoro SE, MM
- Sukatno
- Ramdan Budiyanto SE

4. Sekretariat
- Titti Wienarni
- Nendes Handayani
- Muchidin SE
- Suparmin Feqih SE
- Nurhadi Arifin AMD
- Warsun
- Pamuji
- Zaldy Lijuardi Salim
- Fahrul Rozi
- Gunawan Muliana AMD
- Dwi Purwaningsih
- Yanto
5. Pengamanan Lab Serpong
- Safrizal
- Nurwachid
- Misman Sunaji
- Purna Bakti
- Ir. Baginda
- Mardjuki Napis
- Ferry Halatu BA
- Syahrul Munir











BAB II
METODOLOGI
AWS (Automatic Weather Station)
AWS (Automatic Weather Stations) merupakan suatu peralatan atau sistem terpadu yang di disain untuk pengumpulan data cuaca secara otomatis serta di proses agar pengamatan menjadi lebih mudah. AWS ini umumnya dilengkapi dengan sensor, RTU (Remote Terminal Unit), Komputer, unit LED Display dan bagian-bagian lainnya.
Sensor-sensor yang digunakan meliputi sensor temperatur, arah dan kecepatan angin, kelembaban, presipitasi, tekanan udara, pyranometer, net radiometer.
RTU (Remote Terminal Unit) terdiri atas data logger dan backup power, yang berfungsi sebagai terminal pengumpulan data cuaca dari sensor tersebut dan di transmisikan ke unit pengumpulan data pada komputer.
Masing-masing parameter cuaca dapat ditampilkan melalui LED (Light Emiting Diode) Display, sehingga para pengguna dapat mengamati cuaca saat itu (present weather ) dengan mudah.
BMG telah memasang beberapa peralatan AWS baik yang terpasang secara terintegrasi (AWS wilayah Jabodetabek) maupun yang berdiri sendiri (tidak terintegrasi). Saat ini AWS yang terpasang di stasiun pengamatan BMG telah lebih dari 70 peralatan dengan berbagai merk (a.l. Cimel, Vaisala, Jinyang, RM Joung dsb), sehingga hal ini relatif cukup sulit jika kita akan melakukan pemeliharaan karena memerlukan beberapa orang yang menguasai peralatan masing-masing merk. Kondisi ini diharapkan tidak mejadi penghalang bagi teknisi BMG untuk menguasai teknologi AWS tersebut justru diharapkan menjadi tantangan untuk dihadapi.





KOMPONEN AWS
Secara umum AWS dibagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu
a. Sensor
 Wind speed
 Wind direction
 Humidity
 Temperature
 Solar radiation
 Air Pressure
 Rain gauge
b. Data Logger
c. Komputer (sistem perekam dan sistem monitor)
d. Display (optional)
e. Tiang untuk dudukan sensor dan data logger
f. Penangkal petir
Spesifikasi teknis dari masing-masing komponen biasanya ditentukan, sesuai dengan dimana AWS tersebut akan dipasang.
HUBUNGAN ANTAR KOMPONEN AWS
Secara umum semua AWS mempunyai prinsip kerja yang relatif sama, hal ini juga terlihat pada hubungan antar komponen dari AWS tersebut.
Contoh hubungan antar komponen AWS ada pada gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Blok Diagram AWS
Gambar 2. Blok Diagram RM Joung AWS
I. SENSOR
Sensor yang digunakan pada AWS secara umum dibagi menjadi 2 (dua) kelompok sensor, yaitu :
a. Primary Sensors
 Air Temperature
 Precipitation
b. Secondary Sensors
 Wind Speed
 Global Solar Radiation
 Ground Surface (Skin) Temperature
 Solar panels & Wind power (optional)
 Extended Range Operating Envelopes
STANDARISASI PENEMPATAN PERALATAN AWS
Dalam pemilihan dan menentukan penempatan peralatan AWS yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Standarisasi Penempatan AWS
a) Kedudukan standar peralatan AWS
• Di atas tanah yang tertutup rumput pendek atau pada area lokal reperesentatif
• Sensor-sensor meteorologi harus diletakkan jauh dari pengaruh luar seperti bangunan dan pohon (jarak tergantung daripada variabel jenis penghalang).
• Sensor harus diletakkan pada ketinggian yang sama (dan ditempatkan) sesuai dengan peralatan konvensional.
• Jaga kestabilan terhadap lokasi (perubahan tumbuh-tumbuhan, bangunan, dll)
b) Sensor Temperatur dan Kelembaban
• Diletakkan di bagian dalam dan teduh atau terlindung pada tingginya 1.25 sampai 2.0 m (tidak berventilasi atau yang berventilasi).
• Jenis,bentuk dan warna perisai yang berbeda memberi hasil pengukuran berbeda.
• Untuk perbandingan data dan kompatibel data dapat diinstall seperti pada Gambar 1 dan 2.
c) Pengukuran Curah hujan
• Berada pada lokasi terbuka yang kebanyakan instrumentasinya dipasangkan agak jauh dari raingauges.
• Pada ketinggian 1 m di atas tanah akan memberikan hasil yang berbeda dari pengukuran pada ketinggian 3 m atau 30 cm diatas tanah atau di dalam suatu lubang (galian) kecil;
d) Pengukuran Angin
• Ketinggian Standart baku adalah 10 m di atas tanah lapang terbuka ( jarak dari penghalang sekitar 10 kali dari tinggi penghalang);
• Kecepatan Angin terukur pada ketinggian rendah adalah + 10 m di atas permukaan tanah.Diperlukan untuk titik pengamatan lainnya.
Gambar 4. Classic Stevenson Screen


PENEMPATAN SENSOR
Dalam penempatan Sensor-sensor AWS yang harus diperhatikan /diutamakan agar sensor dapat dipakai sesuai dengan kebutuhan seperti :
• Daerah batas-pengukuran;
• Data representatif;
• Kompatibel Data;
• Ketelitian;
• Kestabilitasan data untuk jangka panjang.
a. Daerah batas pengukuran dan data representatif
Di dalam peralatan Klimatologi, AWS dapat dipasang pada daerah / wilayah yang berbeda (perlu dipertimbangkan luasan cakupan /range pengukuran dan temperatur di daerah Tropis, Lintang tinggi atau daerah kutub ). Selain itu juga tergantung juga pada kebutuhan pemakai; Seperti pada daerah cakupan / range pengukuran ceilometer CT25K adalah 0-25.000ft sedangkan untuk CT12K adalah 0-12,500 ft saja
b. Kompatibel Data
Dalam rangka mencapai kompatibel data saat penggunaan jenis sensor yang berbeda , shielding and different exposure sensor yang berbeda dilakukan pada variabel yang sama, koreksi pada saat pengukuran aktual adalah perlu, seperti dalam pengukuran presipitasi atau kecepatan angin pada ketinggian berbeda di atas tanah.
c. Ketelitian
Kedekatan antara hasil suatu pengukuran dan suatu nilai sebenarnya mutlak diperlukan. Untuk itu diperlukan ketelitian operasional yang berbeda, yaitu tergantung dari aplikasi, seperti perbedaan ketelitian jangkauan untuk variabel tertentu. Seperti; Tinggi awan : ketelitian yang diperlukan adalah 10% untuk ketinggian > 100 m, ketelitian jangkauan ( menggunakan CT25K) adalah 50 ft untuk keseluruhan range pengukuran.
d. Kestabilitasan data jangka panjang
Kemampuan untuk menyimpan ketelitian hasil pengukuran untuk periode yang lama dan dapat dinyatakan oleh drift ( kestabilitasan kalibrasi sensor terhadap waktu). Stabilitas keakuratan data yang baik dapat menghemat biaya dan waktu.
Karakteristik Sensor
Untuk menghasilkan ketelitian dan ketepatan pengukuran dari suatu sensor perlu dilakukan pengamatan khusus pada sensor AWS seperti :
• Resolusi;
• Repeatabilitas;
• Linearitas;
• Respon Time;
• Drift;
• Histeresis.
1. Resolusi, adalah perubahan terkecil yang terjadi pada sensor untuk dapat mendeteksi. Hal ini merupakan suatu nilai kwantitatif kemampuan untuk menandakan suatu sensor dapat memberikan nilai terdekat dengan indikasi kwantitasnya.
2. Repeatabilitas, adalah kemampuan sensor untuk mengukur suatu variabel lebih dari satu kali dan menghasilkan data / output yang sama dalam kondisi lingkungan yang sama pula.
3. Linearitas, adalah gambaran tentang penyimpangan sensor dari perilaku garis lurus idealnya.
4. Waktu respon, adalah waktu yang dibutuhkan sensor bila terjadi perubahan dengan pengukuran 63% dari perubahannya. Interval waktu antara waktu sesaat ketika stimulus terjadi pada subjek dalam tetapan perubahan kasar dan waktu sesaat ketika waktu respons tercapai dan meninggalkan dalam batas tertentu di sekitar nilai tetapnya ( Steady value ).
5. Drift, adalah kalibrasi kestabilitasan sensor dengan waktu.
6. Histeresis, adalah kemampuan sensor untuk menghasilkan pengukuran yang sama apakah peristiwa yang sedang berlangsung akan terus bertambah atau akan berkurang (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik Histeresis
Akuisisi dan Pengolahan data
a. Sampling sensor output, adalah Sampel pengukuran tunggal, yaitu salah satu dari satu rangkaian suatu sistem sensor ( satu pengamatan diperoleh dari sejumlah sampel ). Frekwensi Sampling yang berbeda digunakan :
• Untuk temperatur (5-6 kali suatu menit),
• Untuk wind gust (tiap-tiap 3 detik ), dll.
b. Konversi keluaran sensor, adalah perubahan bentuk nilai-nilai keluaran sensor secara elektronik ke dalam unit parameter meteorologi.
c. Liniarisasi, jika transducer output tidak sebanding dengan kwantitas saat pengukuran, maka sinyal berbentuk linear, hal ini dapat digunakan sebagai instrument kalibrasi.
d. Smoothing, digunakan untuk meniadakan sekecil mungkin noise ( fluktuasi dan kesalahan acak tidak sesuai untuk pemakaian ini ).
e. Rata-Rata, digunakan untuk membuang variabilitas-variabilitas kecil yang ada di atmosfir. Hal itu perlu dilakukan untuk memperoleh pengamatan representatif dan kompatibel data dari sensor berbeda.
f. Koreksi, adalah penyesuaian data untuk menggantikan kesalahan yang terjadi sepanjang interval pengamatan sebagai akibat efek dari lingkungan ataupun dari instrumentasi.
g. Perhitungan perolehan data, kalkulasi jumlah statistik (ekstrim, total); data yang diperoleh dari parameter meteorologi (jarak penglihatan, titik embun dari kelembaban).
AWS REKAYASA
Pada tahun anggaran 2005 dan 2006 Badan Meteorologi dan Geofisika cq. Pusat Sistem Instrumentasi dan Kalibrasi bekerja sama dengan staf GM ITB dan juga staf dari industri hardware dan software telah melaksanakan kegiatan dibidang rekayasa AWS. Hasil rekayasa AWS tahun 2005 kita sebut dengan AWS MGA-05, sedangkan untuk Kegiatan tahun 2006 kita sebut AWS MGA-06.

Gambar 6.a. AWS MGA-05 Rekayasa

Gambar 6.b. Blok Diagram AWS MGA-05 Rekayasa

Gambar 7.a. AWS MGA-06 Rekayasa

Gambar 7.b. Blok Diagram AWS MGA-06 Rekayasa


Teknologi Modifikasi Cuaca
Bencana alam di indonesia yang disebabkan oleh faktor iklim dan cuaca seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan dan lahan serta tanah longsor yag hampir setiap tahun terjadi dan mengakibatkan korban jiwa dan kerugian mareril yang tidak sedikit. Iklim dan cuaca di indonesia sangat spesifik dan menyebabkan ketidakpastian dalam memprediksi, hal ini berakibat sulitnya merealisasikan semua rencana yang terkait dengan iklim dan cuaca seperti masa tanam,masa panen yang akan berdampak negatif terhadap laju pembangunan nasional. Selain itu pengaruh pemanasan global dapat dipastikan bencana iklim dan cuaca akan semakin dahsyat dan berkepanjangan, sementara itu upaya yag dilakukan selama inni tidak Mmpu mengatasi hingga tuntas karena tidak menyentuh substansi permasalahan yaitu hujan.oleh karena itu untuk mengatasinya diperlukan teknologi yang terkait dengan iklim dan cuaca yaitu teknologi modifikasi cuaca (TMC).
Tenologi modifikasi cuaca (TMC) dilakukan meniru proses yang terjadi pada hujan di dalam awan. Sejumlah partikel higroskopik diangkut dengan pesawat ditambahkan langsug ke dalam awan. Pelepasannya bisa dilakukan di bawah dasar awan atau bisa juga dilepas langsung ke dalam awan. Dengan berlangsugnya pembesaran tetes secara lebih awal maka hujan juga turun lebih cepat dari awan dan proses yag terjadi lebih efektif.
Hasil akhir dari upaya ini adalah sebagai berikut :
a. Hujan terjadi lebih awal
b. Frekuensi atau kejadian hujan sehari bisa lebih dari satu kali
c. Cakupan turunnya hujan lebih luas
d. Intensitas hujan lebih besar.
Efek keseluruhan yang terjadi pada daerah yang dilakukan TMC adalah jumlah curah hujan dalam sehari bisa menjadi lebih banyak dibandingkan dengan hujan yang turun apabila daerah tersebut tidak dilakukan TMC. Bila pelaksanaan TMC dilakukan dalam jangka musim tersebut juga bertambah. Pada beberapa tempat di dunia, penambahan curah hujan dari penerapan TMC telah diteliti oleh pakar termasuk di indonesia yaitu sekitar 15-35%. Ini tentu saja sangat berguna untuk pengelolaan sumber daya air di suatu daerah.
Berdasarkan jenis bahan semai yang digunakan penerapan TMC di indonesia dapat dibagi menjadi 2 yaitu TMC sistim powder (menggunakan bahan semai berupa bubuk halus berdiameter 0,4-10µm) dan TMC sistem Flare (berbentuk padat yang dikemas kedalam “tube-tube”)
Manfaat Teknologi Modifikasi Cuaca
Pemanfaatan TMC dalam mengatasi bencana iklim dan cuaca harus dilakukan pada waktu dan lokasi yang tepat. Pola umum curah hujan di indonesia berbeda-beda antara daerah yang satu dengan lainnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh letak geografis indonesia dan pergerakan DKAT (Daerag konvergensi Antar Tropis) yang menyebabkan perbedaan curah waktu curah hujan maksimum. Oleh karena itulah waktu penerapan TMC disuatu daeran harus disesuaikan dengan kondisi iklim dan cuacanya.
Penerapan TMC di indoesia sudah dilakukan sejak tahun 1979 dengan berbagai tujuan yaitu menambah curah hujan untuk mengurangi kekeringan, pegisian waduk untuk PLTA, mengurangi curah hujan untuk mengatasi banjir, longsor, mengurangi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Sampai dengan tahun 2008 penerapan TMC di berbagai daerah di indonesia sudah dilakukan lebih dari 68 kali.
Hasil dari penerapan kegiatan TMC sangat akuntabel dimana manfaatnya dapat dihitung dan dimonitori oleh tim independen bersama-sama user. Secara umum penerapan TMC memberikan manfaat yang possitif dengan rasio benefit terhadap cost lebih besar dari 27 (B/C>27). Sebagai contoh penerapan TMC di jawa barat memberikan manfaat pada sekaligus 3 waduk besar yag ada di jawa barat sebesar 34(B?C>34) artinya bila biaya pelaksanaan TMC sekitar 2,5 milyar rupiah, maka nilai manfaatya adalah lebih dari 2,5 milyar x 34 atau 80 milyar rupiah.
Sarana dan prasarana UPT hujan Buatan
Dalam pelaksanaan penerapan TMC, UPT Hujan Buatan didukung dengan peralatan yang cukup memadai serta SDM yang profesional dan pengalaman bidang modifikasi cuaca. Diantaranya 5 buah pesawat cassa 212-200, serta berbagai equipment yag digunakan untuk mendukung operasional seperti mobil radar cuaca, boundary layer radar (BLR), Rawin sounde, penangkar hujan otomatis dan manual, water quality checker, Theodolit baloon, radio komunikasi SSB, serta laboratorium TMC.dalam setiap kegiatan penerapan TMC selalu dilakukan pemantauan terhadap kualitas dari air hujan yang dihasilkan yaitu dengan melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Pemaantauan terhadap lingkungan ini dilakukan dengan melaksanakan kegiatan pengambilan sampel air hujan, air sungai, air waduk pada periode sebelumnya, selama dan setelah kegiatan TMC untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap parameter kualitas air seperti suhu, rasa, bau, pH (derajat keasaman), DHL (daya hantar listrik), konsentrasi Cl (chlor), konsentrasi NH4-N(amonium), K (Kalsium), Mg(Magnesium), Li(Litium), C(carbon), S(Belerang) dan P (posphor). Hasil pemeriksaan laboratorium kemudian dianalisis untuk melihat apabila terjadi perubahan dalam periode waktu atas dan selanjutnya dibandingkan dengan nilai kadar maksimum PP82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Rabu, 01 Juli 2009

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

BAB I
PENDAHULUAN

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya.
Pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: Belajar dimulai dengan suatu masalah, memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, Bukan diseputar disiplin ilmu, Memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan Menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, Menggunakan kelompok kecil, dan Menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Strategi Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBL)
Pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakana yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Dilihat dari psikologi belajar SPBM bedasarkan kepada psikologis kognoitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses mengahafal sejumlah fakta, tetapi proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya.
Dilihat dari aspek filosofis tentang fungsi sekolah sebagai arena atau wadah untuk mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat, maka strategi pembelajaran berdasarkan masalah merupakan strategi yang memungkinkan dan sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan pada kenyataannya setiap manusia akan selalu dihadapkan kepada masalah.
Dilihat dari konteks perbaikan pendidikan , maka strategi pembelajarean berdsarkan masalah merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau openended melalui stimulus dalam belajar
Menurut John Dewey, belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf berfungsi menafirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki , dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik.
Menurt Arends (1997), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berfikir tingkat lebih tinggi, pengembangan kemandirian dan percaya diri.
Menurut sumber yang berbeda Pembelajaran Berbasis Masalah (Probelem-Based Learning), disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar .

B. Karakteristik PBL
Menurut Arends (2001: 349), berbagai pengembang pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Kranjcik, Blumenfeld, Marx, & Soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, & Wasik, 1992, 1994; Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990)
1. belajar dimulai dengan suatu permasalahan
2. memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar
3. mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu
4. memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri
5. menggunakan kelompok kecil
6. menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan problem-based learning.
Model tersebut memuat komponen-komponen esensial yang meliputi:
(1) pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek,
(2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain
(3) sumber-sumber informasi
(4) cognitive tools
(5) pemodelan yang dinamis
(6) percakapan dan kolaborasi
(7) dukungan kontekstual/sosial.
Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan.Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined. Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi. Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami
pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik, kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi pebelajar. Fleksibilitas kognisi merepresentasi content dalam upaya memahami kompleksitas
yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berpikir divergen dalam proses representasi masalah.
Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Cognitive tools merupakan scaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.
Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu pebelajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui?” dan “apa artinya?”
Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Dukungan sosial dan kontekstual diakomodasikan oleh guru-guru sejawat dan staff teknis diakomodasi untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran. Guru-guru dan staff teknis saling memberikan ide-ide pemecahannya yang dapat membantu pemecahan masalah.
Model desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik didukung oleh pemodelan (modeling), coaching, dan scaffolding. Modelling berbentuk pemodelan tingkah laku untuk mendorong kinerja dan pemodelan kognitif untuk mendorong proses kognisi. Modelling difokuskan pada kinerja ekspert sebagai model. Coaching dipakai untuk mengembangkan kinerja (performance) pebelajar yang sifatnya kompleks dan tidak jelas (unclear). Coaching mencakup kegiatan pemberian motivasi, memonitor dan meregulasi kinerja pebelajar dan mendorong refleksi. Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis dibandingkan modelling dan coaching yang difokuskan pada tugas, lingkungan belajar, guru, dan pebelajar. Scaffolding memberikan dukungan secara temporal yang mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar. Scaffolding mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif (alternative assessment) 5 Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat dalam mendesain pendekatan problem-based learning.


C. Tahap-tahap PBL
Proses pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu:
1. Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993; Qin et al., 1995). Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi pebelajar dalam mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut.
a. Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas.
b. Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa menyenangkan.
c. Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem.
d. Mendorong pebelajar memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu.
e. Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
2. Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah 6 ini, pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
3. Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
4. Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Pebelajar juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
5. Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and understanding) dunia mereka.
6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah 7 berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternative pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
8. Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat,membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternative pemecahan. Pendekatan problem-based learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir (Willis & Wright, 2000). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive) (Wilson & Cole, 1996).
Pembelajaran dengan pendekatan problem based-learning juga memberikan peluang bagi pebelajar untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki pebelajar (Fogarty, 1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan pendekatan problem based learning dapat menjadi wahana bagi pebelajar yang memiliki kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan masalah.
Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5 orang (Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan hasilnya di depan kelas.
Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi pebelajar berpikir untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan pebelajar berpikir secara metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, pebelajar membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat dihilangkan.
De Porter et al (2001) menyatakan, dalam situasi ini pebelajar mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika pebelajar dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.
Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis. Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (1981) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu:
(1) Memahami masalah,
(2) Menyusun rencana pemecahan,
(3) Menjalankan rencana pemecahan,
(4) Menguji kembali penyelesaian yang diperoleh.
Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban. Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning. Penilaian pembelajaran
menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan problem-based learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakn secara nyata dan autentik.
Penilaian pembelajaran dengan problem-based learning dilakukan dengan authentic assesment. O’Malley dan Pierce (1996) mendefinisikan authentic assesment sebagai bentuk penilaian di kelas yang mencerminkan proses belajar, hasil belajar, motivasi, dan sikap terhadap kegiatan pembelajaran yang relevan. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan pebelajar yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Marzano et al (1993) mengemukakan bahwa penilaian dengan portfolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif.
Menurut Oliver (2000) penilaian kolaboratif dalam pendekatan problem based learning dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment.
Self-assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap
usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar (Griffin dan Nix, 1991).
Peer-assessment adalah penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya (Griffin dan Nix, 1991). Proses penilaian pembelajaran pemecahan masalah mencakup penilaian proses dan produk, bertolak dari langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning oleh Fogarty (1997), koheren dengan langkah-langkah penilaian autentik pembelajaran kontekstual menurut Johnson (2002); dan Marzano et al (1993), serta tahap-tahap pemecahan masalah menurut Polya (1981) dan Dwiyogo (2000).

D. Lingkungan PBL
Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor, yaitu:
1. Kasus-kasus berhubungan, membantu siswa untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan berfikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
2. Fleksibelitas kognisi, yaitu mempresentasikan materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas divergen di dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang siswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
3. Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi siswa dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains (fisika), pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
4. Cognitive tools, merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitif tools membantu pembelajar untuk mempresentasikan apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berfikir melalui pemberian tugas-tugas.
5. Pemodelan yang dinamis, adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berfikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang diketahui” dan “apa artinya”.
6. Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang interaktif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membantu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.
7. Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat membuat siswa termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antar kelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para guru untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran.
E. Hasil Belajar (Outcomes) PBL
Tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh siswa yang diajar dengan PBL:
1. Inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah, disini siswa melakukan pengumpulan informasi dari berbagai sumber dengan dibantu oleh guru serta siswa mampu menjadi penyelidik yang aktif.
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult behaviors),disini siswa dapat mengorganisasikan diri di dalam penyelidikan sesuai dengan etika-etika penyelidikan yang benar.
3. Keterampilan belajar mandiri (skill for independent learning). Siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi.
F. Kelebihan dan Kekurangan PBL
1. Kelebihan
Sebagai strategi pembelajaran PBL memiliki beberapa kelebihan, diantaranya :
a. Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Dismping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendoromg untuk melakukan evaluasi diri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
f. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah dan lain sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, buku hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku – buku saja.
g. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan atau disukai siswa.
h. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesusaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka memiliki dalam dunia nyata.
j. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
2. Kekurangan
Disamping kelebihan PBLjuga memiliki kekurangan, diantaranya :
a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
b. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui Pemecahan masalah (problem solving) membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajarai, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka inginkan pelajari.



G. MANFAAT PBL
Seperti yang pernah dikataka Edward de Bono, pendidikan bukanlah tujuan kita. Pendidikan harus menpersiapakan pelajar untuk hidup. Maka dengan PBL atau SPBM kita punya peluang untuk membangun kecakapan hidup (life skills) pelajar; pelajar terbiasa mengatur dirinya sendiri (self direct-ed), berfikir meta kognitif (relative dengan pikiran dan tindakannya), berkomunikasi dan berbagai kecakapan terkait.
Menurut Smith(2005), yang khusus meneliti berbagai dimensi manfaat diatas menemukan bahwa:
 Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamnya atas materi ajar
Kalau pegetahuan itu didapatkan dengan koteks prakteknya, maka kita akan lebih ingat. Dengan konteks yang dekat dan sekakligus melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan menyalidik) bukan surface learning (yang sekedar hafal saja), maka pelajar akan lebih memahami materi. Kita membutuhkan pelajar yang seperti ini apapun bidang yang mereka pelajari.
 Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relefan
Banyak kritik pada dunia pendidikan kita, bahawa apa yang dipelajari dikelas-kelas sama sekali jauh dari apa yang terjadi didunia praktek. PBL yang baik mencoba menutupi kesenjangan ini . dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan konteks praktik, pelajar bisa merasakan lebih baik konteks operasinya dilapangan.
 Mendorong untuk berpikir
Dengan proses yang mendorong pelajar untuk mempertanyakan, kritis, reflektif, maka manfaat ini bisa berpeluang terjadi. Pelajar dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpuljkan, mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakata-fakta yang mendukung alasan. Nalar pelajar dilatih, dan kemampuan berfikir ditingkatkan. Tidak sekedar tahu, tapi juga dipikirkan.
 Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan social
Karena dikerjakan dalam kelompok-kelompok kecil, maka PBL yang baik dapat mendorong terjadinya pengembangan kecakapan kerja tim dan kecakapan sosial. Pelajar diharapkan memahami perananya dalam kelompok, menerima pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang yang mungkin tidak mereka senangi. Keterampilan yang sering disebut bagian dari “soft skills” ini, seperti juga hubungan interpersonal dapat mereka kembangkan. Dalam hal tertentu, pengalaman kepemimpinan dapat mereka rasakan. Mereka mempertimbangkan strategi, memutuskan, dan persuasive dengan orang lain.
 Membangun kecakapan belajar(life- long learning skills)
Pelajar perlu dibiasakan untuk mampu belajar terus-menerus. Ilmu, keterampilan yang mereka butuhkan nanti akan terus berkembang, apapun bidang pekerjaannya. Jadi mereka harus mengembangkan bagaimana kemampuan untuk belajar (learn how to learn). Bahkan dalam beberapa pilihan karier, seseorang harus independen. Dengan struktur masalah yang berkembang, merumuskannya, serta dengan tuntutan mencari sendiri pengetahuan yang relevan akan melatih mereka untuk manfaat ini.
 Memotivasi pelajar
Motivasi belajar pelajar, terlepas dari apapun dari metode yang kita gunakan, selalu menjadi tantangan kita. Dengan PBL, kita punya peluang untuk membangkitkan minat dari dalam diri pelajar, karena kita menciptakan masalah dengan konteks pekerjaan. Dengan masalah yang menantang, mereka bergairah untuk menyelesaikannya. Tetapi tentu saja, sebagian diantara mereka akan ada yang justru merasa kebingungan dan menjadi kehilangannya. Disini peran pendidik menjadi sangat menentukan.
H. MENGAPA MENGGUNAKAN PBL?
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pebelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Inkuiri dan ketrampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar siswa/mahasiswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa/mahasiswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pebelajar meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir divergen didalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang siswa/mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains (kimia), pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan. Cognitive tools, merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas. Pemodelan yang dinamis, adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”.
Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat membuat pebelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antar pebelajar dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antar kelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para guru/dosen untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena:
a. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan;
b. Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan
c. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada siswa dan mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus maka siswa atau mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa/mahasiswa berpikir dan bekerja ketimbang menghafal dan bercerita.
I. BAGIMANA MENGIMPLEMENTASIKAN PBL DALAM PEMBELAJARAN ?
Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Siswa/mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa/mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa/mahasiswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
a. mengidentifikasi masalah,
b. mengumpulkan data,
c. menganalisis data,
d. memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
e. memilih cara untuk memecahkan masalah,
f. merencanakan penerapan pemecahan masalah,
g. melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
h. melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah. Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyeimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru/dosen pada tahap ini. Walaupun guru/dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa/mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru/dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika PBL digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi.







DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufiq, 2008. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta: Prenada Media Group.
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-masalah/
Sanjaya, wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendididkan. Jakarta: Prenada Media Grop.
Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konsruktivistik. Jakarta: Prestasi Pusataka Publisher.
Wena, Made. 2009. Startegi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.
http://iwayan.worldpres.com/pembelajaran berbasis masalah