Senin, 13 April 2009

AL-QUR’AN

A. PENGERTIAN AL-QUR’AN SECARA ETIMOLOGIS
Kata ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Secara etimologis, kata ilmu semakna dengan memahami dan mengetahui. Para filsuf mengartikannya sebagai konsep tentang sesuatu yang muncul dalam akal. Para teolog mendefinisikan ilmu sebagai sifat untuk mengungkapkan dan menjabarkan segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ungkapan meraka bahwa “ Ilmu merupakan sifat yang mampu membedakan sesuatu tanpa mengandung kontradiksi”. Meski pembedaan itu melalui indra, sebagaimana pendapat al-Asy’ariy. Menurut syara’, ilmu diaratikan sebagai mengetahui dan memahami Allah Ta’ala, ayat-ayat dan af’al-Nya berkenaan dengan hamba-hamba dan mahluk-Nya.
Sedang tema Al-Quran secara etimologis merupakan bnetuk mashdar yang semakna dengan kata qira’ah. Pengertian seperti ini dapat kita lihat dari firman Allah SWT :
QS. Al-qiyamah : 17-18
•       •  
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Kemudian pengertian tersebut dialihkan dan dijadikan sebagai nama untuk kalam yang mengandung kemukjizatan yang diturunkan kepada Nabi saw. Berdasarkan pendapat yang terpilih, tema “Al-Qur’an” tetap berhamzah. Dan bila hamzah-nya dibuang, maka tidak lain karena takhfifi (alasan meringankan pengucapa). Dan bila di masuki oleh “Al” setelah menjadi nama, maka Al itu merupakan Li Lamh Al-ashl ( untuk melirik makana asalnya), bukan Li At-ta’rif ( untuk menyempitkan).
Al-Quran disebut juga Al-Furqan, yang semula juga merupakan bentuk mashdar, dan kemudian digunkan untuk menyebut Al-Quran, merupakan penyebutan maf’ul atau fa’il dengan bentuk mashdar. Karena pengertiannya, Al-Quran itu merupakan kalam yang membedakan antara yang benar dan yang batil, atauu sebagian yang lain dalam hal tuntunannya atau ke dalam surat-surat dan ayat-ayat. Dalam hal ini firman Allah SWT yang sejalan, yaitu :
QS. Al-Furqan : 1
  •      • 
1. Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam[1052],

[1052] maksudnya jin dan manusia.

Kemudian kedua nama (istilah) ini merupakan nama Al-Qur’an yang paling popular, bahkan sebagian mufassir menjadikan kedua nama itu sebagai rujukan semua nama yang lain, sama seperti dirujukannya sifat-sifat Allah SWT. Nama Al-Qur’an yang popularitasnya dibawah kedua nama itu adalah Al-Kitab, Adz-Dzikr, dan At-Tanzil. Namun penulis al-Burhan memberikan nama sebanyak lima puluh lima nama, dan yang lain memberikan nama sebanyak sembilan puluh nama lebih, seperti yang disebutkan oleh penulis at-Tibyan. Mereka bertumpu pada sebutan-sebutan yang digunakan dalan sejumlah ayat dan surat, tetapi mereka lupa membedakan antara sebutan-sebutan yang berstatus nama dan yang berstatus sebagai sifat atau keterangan. Sebagai contoh, mereka menghitung sebutan “Al-Qur’an” dan “Al-Karim” sebagai nama, berdasarkan firman Allah SWT :
QS. Al-Waqi’ah : 77
   

77. Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia,

Juga menganggap sebutan Dzikir dan Mubarak sebagi nama, berdasarkan firman Allah SWT :
QS. Al-Anbiya’ : 50
        
50. Dan Al Quran Ini adalah suatu Kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang Telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?
Sebutan Qur’an dan Dzikir bisa dianggap sebagai nama, tetapi sebutan Karim dan Mubarak hanyalah merupakan keterangan atau sifat.

B. PENGERTIAN AL-QUR’AN SECARA TERMINOLOGIS
Al-Qur’an adalah Kalamullah. Kalamullah tidak sama dengan kalam manusia, anusia memiliki kalam, yang kadang-kadang dimaksudkan unutk makna mashdar, yakni ‘takallum’ (pembicaraan), dan kadang-kadang dimaksudkan untuk makna yang merupakan hasil dari makna mashdar itu, yakni ‘Al-Mutakallam” (yang dibicarakan). Masign-masing dari makna tersebut ada yang lafdziy (bersifat verbal) dan ada yang nafsiy (bersifat non verbal). Yang dimaksud kalam manusia yang lafdziy dengan makna mashdar adalah menggerakan lidah dan yang terkait untuk mengeluarkan huruf-huruf dari tempat keluarnya. Sedang kalam lafdziy dengan makna hasil dari mashdar adalah kata-kata yang terucapkan yang tidak lain merupakan cara-cara mengeluarkan suara empiric.
Adapun kalam nafsiy dengan makna mashdar adalah menghadirkan jiwa dengan daya pembicara yang bersifat batin, kata-kata yang tidak tampak dalam anggota badan. Seseorang, dalam kondisi jiwa ini, berbicara dengan kata–kata imajinatif yang dirangkainya di dalam jiwa, diucapkan dengan suara empiric, tentu akan sejalan dengan kata-kata yang terucapkannya. Sedang kalam nafsiy dengan makna hasil dari mashdar itu adalah kata-kata yang bersifat kejiwaan yang terangkai secara batin dan sejalan dengan rangkaian lahirnya (jika diucapkan dengan anggota badan lahir).
Termasuk kalam manusia yang nafsiy dengan kedua jenisnya adalah firman Allah SWT :
QS. Yusuf : 77
                      •      
77. Mereka berkata: "Jika ia mencuri, Maka sesungguhnya, Telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu". Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. dia Berkata (dalam hatinya): "Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu terangkan itu".

Termasuk kedalamnya pula adalah hadist yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Ummi Salamah, bahwa ia mendengar seorang bertanya kepada Rasul Saw : “Sesungguhnya aku berbicara tentang sesuatu dalam hatiku, yang seandainya aku bicarakan (dengan anggota badan lahir), tentu pahalaku akan lebur.” Lalu Rasul Saw bersabda :
“Tidak akan mengutarakan kalam itu kecuali orang yang beriman”
Anda tidak bias melihat bahwa Nabi Saw. menyebut sesuatu yang dibicarakan oleh orang itu dalam hatinya sebagi kalam, meski kata-kata itu tidak diucapkan secara lahir karena khawatir pahalanya akan lebur. Sebutan Rasul Saw. kita pahami secara hakiki, karena itulah yang asal dan tidak ada alasan apapun unutk menolaknya.
Demikian pula Kalamullah, dan hanya milik Allah-lah matsal tertinggi , kadang-kadang dimaksudkan sebagai kalam nafsiy dan kadang-kadang dimaksudkan sebagai kalam lafdziy. Yang menyebutnya sebagai kalam nafsiy adalah kaum Mutakallimin., karena mereka membicarakan sifat-sifat Allah SWT. Yang nafsiy dari satu segi, dan mengukuhkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah yang bukan dari segi lain. Adapun yang menyebutnya sebagai kalam lafdziy adalah ulama Ushul, Fuqaha’ dan ulama bahasa Arab. Ulama Ushul dan Fiqh memilih menyebut Al-Qur’an sebagai kalam lafdziy tujuan mereka adalah mengambil kandungan hukum, yang tidak lain hanyalah dari lafadz-lafadz. Demikin apula Ulama bahasa arab, tujuan melihat unsur kemukjizatan, sehingga perhatian mereka tentu kepada lafadz.

C. PENGERTIAN AL-QUR’AN MENURUT MUTAKALLIMIN
Ketika menyebut Kalam Nafsiy ada dua hal yang dicatat oleh kaum Mutakallimin, yaitu : pertama, bahwa Al-Qur’an merupakan nama, yakni kalam khusus yang berbeda dengan kalam Ilahi yang lain. Kedua, ia merupakan Kalamullah, sedang Kalamullah bersifat qadim.
Mereka mendefinisikan kalamullah nafsiy, yaitu mereka mengatakan “ Ia merupakan sifat qadim yang berkaitan dengan kata-kata yang bersifat maknawi, sejak awal Al-Fatihah sampai akhir An-Naas.” Kata-kata itu bersifat azali dan sunyi dari huruf-huruf literal, dzihniyyah dan ruhiyyah, serta mutarattabah (tersusun rapih).

D. PENGERTIAN MENURUT ULAMA USHUL, FIQH, BAHASA ARAB
Kalangan Ushuliyyin, para Fuqaha cenderung pada kalam lafdziy karena mereka berkepentingan dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an itu dalam rangka menentukan dalil-dalil hukum atau dalam rangka istinbath hokum, karena untuk itu semua tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada lafadz. Demikian pula dengan ahli Bahasa Arab cenderung pada lafadz, karena mereka pun berkepentingan untuk melihat apakah Al-Qur’an mengandung kei’jazan (mukjizat) atau tidak, dan itu dapat diketahui lewat susunan lafadz-lafadz Al-Qur’an yang konkrit. Dengan denikian mereka mendefinisikan Al-Qur’am sebagai berikut :
“Al-Qur’an adalah kalamullah yang mengandung I’jaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam mushaf-mushaf (utsmani) yang dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir yang dianggap bernilai ibadah membacanya”
Rumusan yang terpendek dari definisi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an itu kalam yang bermukjizat dengan menyebutkan satu sifat Al-Quran yang paling menonjol dan istimewa.

E. KANDUNGAN AL-QUR’AN
Masyfuk Zuhdi (1980 : 18) menulis bahwa isi ajaran kitab suci Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip yang menjadi tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia, adalah sebagai berikut :
a. Tauhid (doktrin tentang kepercayaan bahwa Allah Esa)
Sekalipun Adam sebagai manusia pertama dan Nabi pertama adalah seorang monotheis (percaya terhadap keesaan Tuhan) dan mengajarkan tauhid kepada keturunannya, namun tidak sedikit dari keturunannya yang menyimpang dari ajaran tauhid.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, keadaan umat manusia pada umunya telah menyimpang dari akidah tauhid dan dari ajaran-ajaran lain yang dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya.meskipun sebagian dari mereka ada yang masih mengaku percaya kepada keesaan Allah, tetapi ketauhidan mereka tidak murni lagi, sebab Allah dianggap tidak tunggal sepenuhnya,melainkan Ia terdiri dari beberapa oknum, misalnya doktrin Tri Murti atau Trinitas dari agama Hindu dan Kristen.

b. Janji dan Ancaman
Allah menjanjikan kepada setiap manusia yang beriman, yang mengikuti semua petunjuk-Nya akan memperoleh kebahagian di dunia maupun di akhirat.
QS. An-Nur : 55
       •              •                   

55. Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Dan Allah mengancam terhadap siapa pun yang ingkar dan melanggar perintah-perintah-Nya akan mendapat kesengsaraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
QS. At-Taubah : 67-68
                                          

67. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka Telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.
68. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.

[648] Maksudnya: berlaku kikir

c. Ibadah
Tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah.
QS. Adz-Dzaariyaat : 56
      
56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Ibadah bagi manusia berfungsi sebagai manifestasi syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepadanya, dan juga berfungsi sebagai realisasi dan konsekuensi manusia atas keeprcayaannya terhadap Tuhan. Sebab tidaklah cukup bagi manusia hanya menyatakan beriman tanpa disertai amal ibadah.

d. Jalan dan Cara Mencapai Kebahagian
Allah memberikan petunjuk bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus, jalan yang diridhai oleh Allah untuk mencapai kebahagian dan mendapatkan nikmat-Nya, dengan cara memahami,menghayati dan mengamalkan segala aturan agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

e. Kisah-Kisah Umat Masa Lalu
Dalam Al-Qur’an terdapat kisah-kisah para Nabi dan Rasul beserta umatnya masing-masing. Kisah itu diceritakan kambali oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW sekarang tentang bagaimana nasib umat manusia yang melawan-Nya, disamping itu dimaksudkan sebagai hiburan bagi Nabi Muhammad dan umat Islam pada masa permulaan agar Nabi dan para sahabatnya tetap tabah dan teguh hati dalam menghadapi segala hambatan, cobaan, tantangan dan rintangan, dalam mengemban misi dakwah Islamiyah.

F. FUNGSI AL-QUR’AN
Al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi, diantaranya yang terpenting adalah :
a. Sebagai hidayah atau petunjuk bagi manusia dalam mengelola hidupnya secara baik.
b. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Ia adalah Rasul Allah dan Al-Qur’an adalah firman-Nya.
c. Sebagai hakim yang diberi wewenang olah Allah untuk memberikan keputusan mengenai beberapa masalah yang diperselisihkan di kalangan pemimpin-pemimpin agama dari bermacam-macam agama.
d. Sebagai pengukuh/penguat terhadap kebenaran kitab-kitab suci yang pernah diturunkan sebelum Al-Qur’an, dan kebanaran para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW.

G. TAHAP-TAHAP PENURUNAN AL-QUR’AN
Allah SWT memuliakan Al-Qur’an, antara lain dengan memberikan tiga tahapan penurunannya, yaitu :
1. Ke Lauh Mahfudz
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
QS. Al-Buruuj : 21-22
        

21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia,
22. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.

Keberadaannya di lauh mahfudz ini adalah dengan cara daa pada waktu yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Dan orang-orang yang diperlihatkan kepada ke ghaiban oleh-Nya. Wujudnya global, bukan rincian. Inilah pengertian lahiriahnya dan tidak ada yang mengalihkan dari pengertian lahiriah itu. Semua rahasia diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap kepada Nabi Saw. tidak logis terjadi pada penurunan tahap ini.
Hikmah penurunan seperti ini kembali kepada hikmah yang tinggi dari wujud Lauh itu sendiri dan keberadaannya sebagai media yang mencakup semua yang menjadi Iqadha’ dan qadhar Allah SWT, alam-alam yang telah dan akan wujud. Ia merupakan saksi logis dan manifestasi terjelas yang mengindikasikan keagungan, ilmu, iradah, kebijaksanaan, keluasan kekeuasaandan qudrah-Nya. Bahwa yang beriman kepadanya dapat menguatkan keimanan seseorang kepada Tuhannya dari aspek-aspek tersebut, menumbuhkan ketenangan dalam jiwanya, percaya kepada semua yang diterapkan oleh Allah SWT, kepda mahluk-Nya berupa hidayah, syari’ah, kitab-kitab dan segala jenis persoalan hamba-Nya, disamping mendorong manusia untuk tenang dan lega terhadap qadha’ dan qadhar. Dari sinilah, mereka akan mersakan keringanan menjalani hidup yang berat maupun yang ringan. Sebagaimana firman Allah SWT :
QS. Al-Hadid : 22-23
                 •                   •   

22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

[1459] yang dimaksud dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.

Beriman kepada Lauh dan adanya kepastian disana ada pengaruh yang positif bagi kesinambungan seseorang dalam melalukan kebaikan dan secara maksimal melakukan segala yang merupakan tindakan taat dan diridhai oleh Allah SWT, menjauhi segala yang membuat-Nya muka dan segala kedurhakaan, karena ia yakin bahwa semua itu trtulis disisi Allah SWT. dalam Lauh-Nya terhimpun di dalam kitab-Nya. Allah SWT berfirman :
QS.Al-Qamar : 53
    

53. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.

2. ke Baitul Izzah di Langit Dunia
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
QS. Ad-Dukhaan : 3
       •  

3. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.

[1369] malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.

QS. Al-Qadar : 1
     
1. Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1593].

[1593] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, Karena pada malam itu permulaan Turunnya Al Quran.

QS. Al-Baqarah : 185
       ••                                        

185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Ketiga ayat itu menunjukan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam suatu dalam satu malam, yang disifati bahwa malam itu diberkati,sebagaimana disebutkan dalam surat al-Qadar. Dan disebut Lailatul Qadar, sebagaimana disebutkan didalam surat al-Qadar, serta terjadi pada malam bulan Ramadhan, sebagaimana di dalam surat Al-Baqarah. Dikatakan demikian dalam rangka memadukan ketiga nash itu dalam penerapannya dan menghindari pertentangan antara ayat-ayat itu.

3. Penurunannya melalui Malaikat Jibril
Penurunan yang ketiga, yang merupakan tahap yang terakhir dimana dari penurunan yang ketiga ini tersebar sinar di dunia dan hidayah Allah SWT sampai kepada makhluk. Penurunan ini melalui malaikat jibril, yang membawanya turun kedalam hati Nabi Muhammad SAW.
QS. Asy-Syu’ara.
              

193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),
194. Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
195. Dengan bahasa Arab yang jelas.












WAHYU

A. PENGERTIAN WAHYU
Kata Wahyu berasal dari bahasa Arab :_____. Dalam Al-Qur’anul Karim memang tidak sedikit kalimat-kalimat (Indonesia dan kata) yang disinyalir berasal dari unsur bahasa ‘ajam. Menjelang Al-Qur’an diturunkan, kata ‘ajam itu telah menjadi milik/tuturan bangsa Arab, sehingga ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. kata-kata itu dipergunakan oleh Allah SWT untuk pengungkapan firman-firman-Nya.
Menurut pengertian bahasa (ethimologis) kata Al-Wahyu mengandung arti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia pun mempunyai arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Sesungguhnya jika suatu kata dilihat dari segi bahasa, maka cenderung memiliki arti lebih dari satu atau dua macam arti, terlebih lagi jika kata yang dikaji merupakan kata yang dalam Usul Fiqh disebut lafadz musytarak. Demikian juga kata Al-Wahyu merupakan kata yang musytarak. Sebagai indikator bahwa kata ini memiliki banyak arti, dapat dilihatb penggunaannya dalam ayat-ayat Al-Quran.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat kata Al-Wahyu dan lafal-lafal yang musytarak dari padanya, berkisar kuarng lebih 70 kali, yang ternyata makna kata wahyu itu secara kontekstual menunjukkan makna yang bermacam-macam. Sebagai contoh dapat dikemukakan bukti-buti sebagai berikut:
1. Berarti isyarat atau petunjuk, misalnya:
(Q.S. Maryam : 11)
           
11.Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.

2. Berarti perundingan yang bersifat rahasia, firman-Nya:
(Q.S. Al-An’am: 121)
           •           
121. Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[501]. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.

[501] yaitu dengan menyebut nama selain Allah.

3. Berarti Ilham untuk mahluk binatang, seperti:
(Q.S. An-Nahl: 68)
             
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",

4. Berarti Ilham untuk manusia, yang dalam hal ini Ibu Nabi Musa yang memperolehnya, sebagai berikut:
(Q.S. Al-Qashas : 7)
                        
7. Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.

5. Berarti sesuatu yang dihunjamkan/dibisikkan kedalam sukma:
(Q.S. Asy Syuura: 51)
        •                
51. Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

[1347] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s.

6. Berarti ditunjukkan dalam surat Al-An’am, ayat 112:
(Q.S. A-An’am : 112)
                         
112. Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)[499]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

[499] maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada nabi.

7. Berarti wahyu yang sebenarnya sebagai ajaran Allah kepada manusia, untuk mencapai keselamatan dan kebahagian hidup dunia dan akhirat:
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬(Q.S. An-Najm : 3-4)
          
3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Dari berbagai arti wahyu diatas, para ulama tafsir cenderung pada satu kesimpulan makna bahwa kata “Al-Wahyu” secara bahasa ialah : ________, yakni suatu isyarat atau petujuk, sinyal yang sngat rahasia (khafi) yang terjadi begitu cepat, sehingga karena sangat rahasia dan cepatnya itu orang yang tidak menjadi sasaran penerimaan wahyu, tidaklah mengetahuinya.

Secara terminologis, ada dua dimensi yang harus dipandang.
Pertama menyangkut apa yang diwahyukan, yakni materia wahyu. Dalam kitab A-Masyaariq dijelaskan, bahwa wahyu pada dasarnya merupakan sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan yang tersembunyi dan prosesnya terjadi secara cepat. Dimaksud dengan cepat, adalah sesuatu yang berupa pengetahuan-pengetahuan yang ditanamkan sedemikian rupa kedalam jiwa penerimanya, sekaligus tanpa terlebih dahulu melalui proses pemikiran/pertimbangan, dan tidak di dahului dengan fase muqoddimah.

Definisi wahyu menurut Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) dalam kitab Risalatut Tauhid adalah sebagai berikut :
“Wahyu ialah suatu ‘irfan (pengetahuan) yang didapat manusia sudah ada dalam dirinya, dan ia yakin bahwa yang dirasakan itu berasal dari Allah SWT, baik datangnya melalui perantara atau tidak, dengan melalui suara atau tidak.”

Kemudian, dimensi yang kedua, yakni dimensi pewahyuan, dapat difahami dari rumusan Abd. Adzim Az-Zarqani mengenai wahyu menurut Syu’ara:
“Adapun pengertian wahyu dalam istilah syara’ ialah pemberitahuan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih mengenai segala hal yang Ia kehendaki untuk di kemukakan-Nya, baik itu rupa-rupa petunjuk maupun ilmu, namun penyampaiannya dengan cara/jalan rahasia, dan tidak terjadi pada manusia biasa.”

B. MACAM-MACAM DAN CARA TURUN WAHYU
Hakekat wahyu sebenarnya satu, tidak berwarna dan tidak beragam, karena ia bersumber dari Tuhan Yang Maha Satu. Macam-macam cara (kaifiyat) menerimanyalah yang menimbulkan kesan seolah-olah wahyu mempunyain banyak warna dan ragam. Macam dan cara (anwaa’ dan kaifiyat) dalam kaitan wahyu tidak dapat di pandang sendiri-sendiri. Keduanya harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya

Dalam hubungan macam-macam wahyu ini, penting di ketahui apa yang ditulis Az-Zarqani sebagai berikut:
Dari segi cara sampainya, wahyu ada beberapa macam, antara lain:
1. Ada yang berupa pembicaraan langsung (dialog) antara hamba pilihan Tuhan dengan-Nya, seperti halnya pernah terjadi pada diri Nabi Musa as, yang faktanya diungkapkan dalam firman Allah:
(QS. An-Nisa : 164)
               
164. Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung[381].

[381] Allah berbicara langsung dengan nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan nabi Musa a.s., dan Karena nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu Mi'raj.

2. Ada wahyu yang berupa sesuatu yang dianugerahkan langsung oleh Allah ke dalam hati menusia pilihan-Nya, dengan cara yang sangat mudah, tak bisa dihindari terjadinya (kedatangannya) dan tidak ada suatu keraguan pun didalamnya.

3. Ada pula yang berupa hasil mimpi yang benar. Artinya wahyu diperoleh lewat media mimpi (_________), yang terjadi begitu terang dan jelasnya, seakan-akan terjadi bukan dalam mimpi, bagaikan terang fajar yang menyibakkan gelap pada pagi hari. Contohnya terjadi pada Nabi Ibrahim Khalilullah:
(Q.S. Ash-Shaffaat : 102)
                            
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

4. Yang paling umum adalah berupa sesuatu yang dibawa oleh Jibril as. Disampaikan kepada manusia pilihan. Wahyu cara beginilah yang masyhur dibanding cara lainnya.

C. WAHYU DIPANDANG DARI SEGI ILMU DAN LOGIKA
Ada beberapa prinsip keilmuan yang sangat menonjol, antara lain: skeptis, netral dan realistis. Penjelasan masing-masing sebagai berikut:
1. Prinsip skeptis bahwa dalam dunia keilmuan, segala sesuatu yang hendak dicari benar atau tidaknya, selalu diletakkan atas sikap serba ragu, yang dalam proses berikutnya menuntut usaha pembuktian, melalui pengindraan atau akal sebagai alat-alat pokok.
2. Prinsip netral, maksudnya dalam dunia ilmu, penyelidikan dan pencaharian yang dilakukan dalam menentukankebenaran sesuatu, tidak bersandar pada premis-premis tertentu, misalnya dalil-dalil agama, melainkan dengan bebas nilai, sejauh pengindraan dan akal pikiranmu mampu menjangkaunya. Jika terikat dengan suatu premis tertentu maka ilmu tersebut tidak murni.
3. Prinsip realistis dimaksudkan, bahwa dalam dunia keilmuan segala sesuatu dapat diakui secara objektif, jika memang nyata telah terbukti dalam realitas, sehingga dapat disaksikan wujudnya atau realitasnya oleh masyarakat luas, melalui percobaan-percobaan yang sejujurnya.

Mengenai soal wahyu dalam pandangan logika, disamping terdapat bukti-bukti ilmiah yang menguatkan serta mendukung “kemungkinan” wahyu benar-benar terjadi, juga dapat dikemukakan hukumlogika yang mengandung tiga proporsi diatas, yaitu sebagai berikut:
1. Telah diakui oleh para ahli sejarah, baik dikalangan Islam maupun diluar Islam, bahwa Nabi Muhammad dikenal sebagai “As-Shadiq al-Ma’shum”, yakni orang yang jujur dan terjaga (terpelihara) dari kesalahan yang mendurhakai Tuhan (premis mayor)
2. Setiap yang dibawa dan diberitakan oleh orang yang terkenal sangat jujur pastilah benar adanya (premis minor)
3. Bahwa Muhammad yang terkenal sangat jujur itu, dengan segala hal yang dibawa dan disampaikannya kepada manusia pastilah benar adanya (konklusi/natijah). Diantara yang dibawa dan disampaikan oleh Muhammad adalah bahwa ia menerima wahyu dari Allah SWT, yang berwujud Al-Qur’an.

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan Nabi lainnya pada prinsipnya sama. Yaitu mengandung 5 aspek, antara lain:
1. Tauhid
2. Al-wa’di wal wa’id
3. Ibadah
4. Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
5. Kisah-kisah atau cerita umat masa lalu.

Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu; penerapannya terhadap natural science

Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material (Koento, 2003: 13).

Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.

Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi

Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:

  • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. Suatu nilai menjadi suatu yang subyektif apabila sunyek berperan dalam memberikan penilaian kesadaran manusia yang menjadi tolak ukur penilaian, dengan demikian selalu memperhatiakan berbagai pandangan yang dimiliki akal manusia seperti perasaan yang mengarah suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang.
  • Obyektivisme dikatakan obyektiv jika nilai tidak tergantung pada subyek atau kesadaran dalam menilai tolak ukur pada suatu gagasan berada pada obyeknya bukan pada subyeknya yang melakukan penilaian.obyektivitas yang logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Dimana seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran bersifat ideologis, agama , dan budaya.berbeda dengan Obyektivisme pada masa sekarang dimana semuanaya dipertanyakan dengan keadaan sebenarnya karena ilmu sangat berbeda sekali dengan fakta, yang bersifat obyektif dan netral tetapi ilmu adalah fakta dan penjelasan seorang ilmuan. Dalam hal ini diduga adanya kesadaran ilmuan baik yang berasal dari ideology, budaya, lingkungan social maupun agama.

Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.

Sebelum membahas lebih jauh tentang penerapan natural science saya ingin mencoba menguraikan terlebih dahulu hubungan, persamaan, dan perbedaan antara penerapan secara natural science dengan social science. Dilihat dari hubungannya yaitu sangat erat sekali sebagai contoh seorang ilmuan contoh einstein telah menemukan bom atom tetapi dia takut akan apabila penemuannya itu jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab, nah rasa takut itulah yang dimaksud dengan social yaitu moral, dilihat dari persamaannya yaitu sama- sama mendahulukan akan siakap yang akan diambil, sedangkan dari perbedaan itu sendiri antara natural science dan social science adalah hasil dari produck yang dihasilkan masing- masing jika natural lebih akan hasil produk sedangkan social itu lebih pada teori dan sikap yang dihasilkan.

Nilai kegunaan ilmu

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnaya.

Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi, sain dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sain dan teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.

Sejak dalam tahap- tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi tekhnologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang?

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan tekhnologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai- nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral.golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni:

· Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan tekhnologi- tehnologi keilmuan.

· Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.

· Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan social.

Sains dan Dehumanisasi

a. Nuklir

Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada presiden Roosevelt yang isinya yaitu merekomendasikan untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mencapai puncaknya pada pembuatan bom atom yang dapat memusnahkan ribuan umat manusia dalam waktu sesaat, pandangan ilmu sebagai berkah dan penyelamat manusia dipertanyakan, apakah ilmu member berkah atau menimbulkan kegoncangan bagi manusia? Einstein mungkin tidak salah dengan rekomendasinya itu, karena seandainya amerika serikat tidak segera membuat bom atom, nazi sedang mempersiapkan diri untuk membuat bom nuklir yang dapat menjadi pembunuh missal.sejak saat itu muncul pertanyaan disekitar kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan nilai, dan tanggung jawat moral ilmuan, untuk apa ilmu dan teknologi dikembangkan?apakah dikembangkan untuk tujuan- tujuan kemanusiaan, atau tujuan perang?apakah ilmu bebas nilai apakah serat pada nilai? Kemana perkembangan ilmu sebenarnya harus diarahkan?

Secara factual ilmu digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan, ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesame manusia dan menguasai mereka. Disamping berbagai senjata modern juga dikembangkan berbagai tehnik penyiksaan. Tehnologi yang seharusnya menerapkan konsep- konsep sains untuk membantu memecahkan masalah manusia baik perangkat keras maupun yang lunak cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan( dehumanisme), bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, terutama akibat perkembangan sain dan teknologi. Sains bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan melainkan menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Seorang ilmuan secara moral tidak akan menggunakan penemuannya diprgunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya adalah bangsanya sendiri, sejarah telah menentukan bahwa para ilmuan bangkit dan bersikap terhadap politik dan pemerintahan yang menurut anggapan mereka melanggar asas- asas kemanusiaan. Mereka akan bersuara sekiranya kemanusiaan akan memerlukan mereka. Dengan suara yang universal, mengatasi golongan, ras, system kekuasaan, agama, dan rintangan yang bersifat social.

Salah satu musuh manusia adalah peperangan yang akan menyebabkan kehancuran, pembunuhan, kesengsaraan, peperangan merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sudah mendarah daging. Pengetahuan adalah kekuasaan, hanya kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia.

b. Rekayasa Genetika

ilmu dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan masing- masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa malapetaka. Perang dunia 1 menghadiahkan bom kuman yang menjadi kutukan ilmu kimia dan perang dunia 2 muncul bom atom produk fisika, dan kutukan apa yang akan dibawa oleh revolusi genetika.

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaah itu sendiri.dengan penelitian genetika ini menjadi sangat lain kita tidak lagi menelaah organ- organ manusia melainkan manusia itu sendiri yang menjadi objek penelitian yang menghasilkan bukan lagi tekhnologi yang memberikan kemudahan melainkan teknologi yang mengubah manusia itu sendiri, apakah perubahan itu akan dibenarkan dengan moral, yaitu sikap yang sudah dimiliki seorang ilmuan?

Jawabannya yaitu tinggal dikembalikan lagi kepada hakikat manusia itu sendiri, karena sudah kita ketahui bahwa ilmu itu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantudalam mencapai tujuan hidupnya, tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.

Penemuan dan riset genetika akan digunakan dengan itikad yang baik untuk keluhuran manusia, dan bagaimana sekiranaya riset tersebut jatuh pada tangan yang tidak bertanggung jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya sendiriyang bersifat destruktif? Apa yang akan diberikan bahwa pengetahuan ini tidak akan dipergunakan untuk tujuan- tujuan seperti itu? Dari pertanyaan itu kita melihat dari sudut ini makin meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukannya dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah.

Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenag penjelajahan sains, disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenag penjelajahan sains. yang jadi pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan teknologi?

Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab social ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah satu aspek pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya telah dibahas.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh pembahasan yang diatas tersebut menyatakan sikap yang menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai objek penelitiaan genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap obyek yang tercakup dalam obyek formal ilmu, menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana kita menggunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia, menghadapi revolusi yang sudah diambang pintu, kita belum terlambat menerapkanpilihan ontologism.